Dalam budaya ketimuran, pernikahan yang langgeng atau awet adalah sebuah impian dan prestasi. Sebaliknya, keluarga yang berakhir dengan perceraian masih dianggap sebagai aib dan kegagalan. Inilah salah satu alasan yang mendasari pasangan untuk tetap bertahan dalam pernikahan meskipun masalah yang ada sudah tak dapat diselesaikan lagi. Demi anak, demi orang tua, atau demi lingkungan sosial, pasangan rela bertahan. Berkeluarga pun akhirnya sekadar melanggengkan pernikahan.
Ternyata, menjalani pernikahan yang tak bahagia ada dampaknya. Penelitian yang dilakukan pada 373 pasangan di AS selama 16 tahun usia pernikahan mereka menunjukkan bahwa konflik dalam pernikahan menimbulkan masalah kesehatan. Perubahan nafsu makan, meningkatnya hormon stres, rusaknya sejumlah respon tubuh, yang kesemuanya bisa berujung ke gangguan fungsi hati hingga sistem imun.
Anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar pun bisa merasa stres, menjadi agresif atau malah pendiam, kehilangan rasa percaya diri, yang kelak bisa mengganggu studinya serta kesehatan mentalnya saat dewasa.
Lantas, apa yang bisa dilakukan agar pernikahan langgeng karena memang ada kebahagiaan di dalamnya, bukan karena terpaksa dipertahankan?
Menerapkan nilai keluarga
Nilai keluarga itu layaknya kompas: sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam nilai keluarga memastikan suami, istri, maupun anak “satu suara” tentang hidup seperti apa yang baik dijalani dan ingin menjadi pribadi seperti apa mereka kelak. Ketika ada konflik, anggota keluarga bisa kembali mengingat apa prinsip yang telah disepakati sehingga masalah lebih cepat selesai.
Bingung bagaimana menentukan nilai keluarga? Dr. Courtney Conley, EdD, seorang terapis klinis profesional menyarankan pasangan untuk mulai dengan pertanyaan: apa yang paling penting bagi kita dan pasangan? Bagaimana kita ingin anak kelak berinteraksi dengan orang lain? Kita ingin orang mengenal keluarga kita seperti apa? Dari jawaban pertanyaan tersebut, kita bisa mengetahui hal apa yang layak diperjuangkan menjadi nilai keluarga, sekaligus menyepakati seperti apa pola asuh yang tepat untuk anak.
Baca: Aset Keluarga Bahagia Itu Bernama Nilai Keluarga
Komunikasi yang baik
Banyak pasangan yang gagal dalam membangun keluarga karena minimnya komunikasi. Komunikasi yang baik tak sekedar bisa saling berbicara namun mengerti apa dirasakan pasangan (juga anak) dan menyelipkan simpati serta empati di dalamnya. Sehingga, kita tak sekedar berharap pasangan dan anak untuk memahami dan menjalankan apa yang kita pikir baik untuk bersama, tapi mencari kesepakatan bersama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Jangan lupakan pula bagaimana cara berkomunikasi yang benar agar pesan tersampaikan secara efektif, antara lain dengan menggunakan i-message (menggunakan kata “aku” seperti “aku kecewa kalau kamu mendahulukan pekerjaanmu”, alih-alih “kamu selalu saja sibuk bekerja) dan memilih waktu yang tepat. Hindari kesalahan umum suami istri dalam berkomunikasi seperti dalam artikel ini.
Pupuk cinta dengan waktu berkualitas berdua
Seiring berjalannya waktu, percikan cinta akan memudar. Tujuan dan komitmen lah yang tetap merekatkan pasangan untuk berada dalam pernikahan. Meskipun demikian, memupuk romantisme harus tetap diusahakan karena kasih sayang dan perhatian adalah sebuah kebutuhan. Ketahui bahasa cinta pasangan jika ekspresi cinta kita tidak mendapat respon yang diinginkan. Curi waktu untuk berdua saja tanpa anak meskipun hanya mengobrol sambil makan malam di rumah.
Baca: Agar 5 Tahun Pertama Berjalan Mulus
Tidak ada pernikahan yang mulus. Namun, cara-cara di atas semoga bisa membuat kita dan pasangan lebih solid mengusahakan kebahagiaan bersama dengan tulus.