Siapa sih yang tidak senang jika balitanya sudah bisa calistung? Apalagi, saat SD langganan jadi juara kelas. Tidak salah memang membanggakan kecerdasan intelektual anak. Namun, jangan lupakan pentingnya kecerdasan emosional anak ya! Ketika anak dewasa nanti, kecerdasan emosional ini akan lebih berperan menentukan kesuksesannnya. Sejumlah penelitian tentang dunia kerja yang dimuat dalam cnbc.com menunjukkan bahwa 90% orang yang sukses dalam karir maupun bisnis memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
Jadi, apa itu kecerdasan emosional?
Menurut psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo dalam event Mommies Daily bertema "Developing Emotional Intelligence for Kids", kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri dan kemudian mampu mengekspresikannya dengan cara yang tepat. Misal, anak tahu bahwa ia marah ketika adiknya memukulnya namun memilih untuk melaporkannya pada Anda alih-alih balas memukul adiknya. Karena sudah mampu mengenali emosi sendiri, ia pun juga lebih mudah memahami emosi orang lain, berempati, dan tahu bagaimana harus bersikap. Misal, saat anak tahu Anda menangis karena sedih, ia pun bisa memberikan pelukan.
Apakah kecerdasan emosional merupakaan bawaan lahir?
Berbeda dengan temperamen, kecerdasan emosional tidak dibawa sejak lahir sehingga harus diajarkan. Jika Anda belum tahu, temperamen anak ada tiga, yaitu easy (mudah beradaptasi), difficult (sulit beradaptasi), dan slow to warm up (membutuhkan waktu untuk beradaptasi) Temperamen memang akan memengaruhi kecerdasan emosional, tapi lingkungan akan berpengaruh lebih besar pada cerdas tidaknya anak dalam mengelola emosinya.
Bagaimana cara melatih kecerdasan emosional anak?
Orang tua bisa melakukan emotion coaching, yaitu metode yang digunakan orang tua untuk merespon momen emosional anak. Ada lima tahapnya, yaitu
1. Sadari emosi apa yang sedang dialami oleh anak
Biasanya, sebelum anak melakukan hal “unik” secara tiba-tiba, ada perubahan ekspresi wajah, suara, atau bahasa tubuh lainnya. Jadi, ketika anak tiba-tiba menjatuhkan benda-benda di meja tanpa alasan, orang tua harus mencari tahu, apakah anak mengantuk? Atau mungkin cemburu karena Anda sedang menemani kakaknya belajar? Untuk melakukannya, Anda juga harus bisa menyadari emosi yang Anda rasakan.
2. Jadikan momen emosional anak tersebut sebagai momen membangun kedekatan dengan anak sekaligus momen untuk belajar
Pada tahap ini, amati baik-baik emosi anak untuk kemudian menjadikannya sarana PDKT ke anak dengan cara mengajaknya bercerita tentang apa yang ia rasakan. Pada kenyataannya, kalau melihat anak uring-uringan atau membanting barang, emosi orang tua sering “terbajak”. Karena itu, ambil jarak dulu hingga amarah Anda mereda kemudian kembali lagi.
3. Dengarkan anak dengan baik
Saat anak bercerita, dengarkan sepenuh hati. Hindari menghakimi anak, seperti “Jelas saja adik mukul, kan kakak rebut mainannya”. Tunjukkan pada anak kalau Anda memahami apa yang ia rasakan. Tahap ketiga ini hanya bisa dilakukan saat anak sudah tenang, baru kemudian bisa lanjut ke tahap empat.
4. Bantu anak melabeli (memberi nama) emosinya
Jika anak kesulitan melabeli emosinya, Anda bisa memberi contoh situasi yang pernah Anda rasakan. Melabeli emosi anak dapat membuat anak lebih tenang sekaligus mengajarinya berbagai macam jenis emosi.
5. Bantu anak mencari solusi (problem solving)
Agar kelak anak tidak menyalurkan emosi dengan cara yang salah, bantu ia mencari cara menyalurkan emosi yang tepat. Tentukan pula batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan untuk menyalurkan emosi. Misal, “Mama tahu kamu kesal, tapi kalo marah tidak boleh melempar barang. Enaknya kalo marah ngapain ya?”
Orang tua juga harus memiliki kecerdasan emosional
Untuk melatih kecerdasan emosional anak, Vera menggarisbawahi bahwa orang tua juga dituntut untuk mampu menyalurkan emosinya dengan cerdas. Mengingat banyak orang tua tidak terbiasa mengidentifikasi dan menyalurkan emosi dengan baik masalah pola asuh, Anda bisa melakukan emotion coaching pada anak sekaligus melatih emosi Anda sendiri. Cari aktivitas penyalur emosi yang sehat, seperti memasak, olahraga, atau bahkan bebersih rumah.
Orang tua pun sebaiknya tidak terburu-buru untuk mendapatkan hasilnya, mengingat anak membutuhkan proses untuk bisa membiasakan diri melatih kecerdasan emosinya.