Seorang ibu rumah tangga dan anak-anaknya yang masih kecil mendadak positif Covid-19. Anehnya, mereka tidak pernah bepergian ke tempat ramai, sekolah pun masih berlangsung online. Setelah diperiksa, ternyata sang ayah lah yang menjadi sumber penularan. Keharusan bekerja di kantor membuatnya terpapar Covid-19 dari rekan kerja maupun saat menggunakan transportasi publik. Inilah yang disebut sebagai klaster keluarga, dimana salah satu anggota keluarga terinfeksi virus SARS-CoV-2 dan menularkannya pada anggota keluarga lainnya sehingga satu rumah tangga tertular Covid-19 saat berada di rumah sendiri.
Pelonggaran pembatasan sosial (yang juga disebut masa adaptasi kebiasaan baru/AKB) membuat masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa. Memang, tidak semua orang “nekad” pergi ke mall, makan di restoran, maupun menyambangi tempat wisata di masa ini. Namun, semakin banyaknya masyarakat yang berkumpul dan beraktivitas di tempat umum ternyata berkontribusi pada naiknya angka penularan Covid-19 dari klaster keluarga. Mengapa? Karena 80% orang yang positif Covid-19 menunjukkan gejala. OTG atau orang tanpa gejala inilah yang kemudian tanpa sadar menularkan Covid-19 pada anggota keluarga lainnya, bisa pada pasangan, anak, orang tua, bahkan keluarga besar.
Klaster keluarga ini menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Budaya masyarakatnya yang memiliki ikatan kuat dengan keluarga besar maupun lingkungan sosial membuat orang-orang yang “dianggap dekat” tersebut adalah keluarga sendiri, sehingga tidak perlu jaga jarak ketika bertemu. Itulah mengapa acara keluarga, arisan, pengajian, penyuluhan, rapat warga, mengunjungi tetangga yang memiliki hajat (termasuk membesuk dan melayat) bisa menjadi sumber penularan Covid-19.
Tidak hanya oleh orang dewasa, penularan pada klaster keluarga juga dapat disebabkan oleh anak. Anak yang masih kecil belum bisa disiplin menjalankan protokol kesehatan saat bermain bersama teman-teman di komplek perumahan, bahkan sepupu yang jarang ditemuinya. Sekolah terpaksa diliburkan namun anak bebas bermain di lingkungan rumah, membuat kebijakan tersebut seolah menjadi sia-sia. Pemukiman padat makin membuat orang tua kesulitan menjaga anak mereka dari interaksi dengan lingkungan sekitar.
Sebagai ilustrasi, studi kasus yang dirangkum Pandemic Talks dari berbagai sumber mengenai 48 klaster keluarga di Bogor menunjukkan bahwa sebagian besar anggota keluarga yang positif Covid-19 adalah anak-anak dan orang berusia lanjut. Manula yang memiliki penyakit bawaan lebih rentan terkena Covid-19, sementara persentase angka kematian anak yang positif Covid-19 di Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia dan dunia. Amat disayangkan jika abainya mereka yang berusia produktif menjadikan anak dan manula sebagai korban.
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya klaster keluarga?
Juru bicara Tim Gugus Tugas Pengangan Covid-19 dr. Erlina Burhan tidak bosan menyarankan 3M untuk mencegah penularan Covid-19, yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Jika 3M dilaksanakan secara benar dan masif akan dapat memutus rantai penularan.
Selain itu, klaster keluarga juga dapat dicegah dengan Protokol VDJ di lingkungan rumah yang diinisiasi oleh Pandemic Talks, sebuah platform informasi & data Covid-19 di Indonesia. Adapun Protokol VDJ terdiri dari:
Ventilasi. Pastikan sirkulasi udara di dalam rumah berjalan baik dengan adanya ventilasi yang memadai. Buka pintu dan jendela agar terjadi perputaran udara segar. Hindari berada di ruangan tertutup bersama anggota keluarga yang rentan dan masih beraktivitas di luar rumah.
Durasi. Jika masih ada anggota keluarga yang beraktivitas rutin di luar rumah, kurangi durasi interaksinya dengan anggota keluarga lain yang rentan. Bila memungkinkan, sediakan kamar terpisah bagi yang masih bekerja di luar rumah.
Jarak. Bagi anggota keluarga yang masih bekerja di luar rumah, jaga jarak aman dengan balita dan manula yang ada dalam satu rumah, serta disiplin menggunakan masker di sekitar mereka.
Meski bagi banyak keluarga hal ini terasa berat dilakukan, memikirkan risiko yang terjadi pada keluarga terkasih bisa menjadi dorongan tersendiri untuk melakukan upaya pencegahan terbaik, khususnya bagi mereka yang masih harus bekerja di luar rumah.