Dalam sebuah artikelnya, Harian The New York Times memaparkan fakta meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di seluruh dunia setelah lockdown diberlakukan. Di Spanyol, hotline untuk KDRT menerima 18% lebih banyak aduan, sementara di Perancis terjadi 30% peningkatan kasus KDRT. Kecenderungan tersebut juga terjadi di AS, Inggris, Italia, serta Cina. Tidak harus berupa kekerasan fisik, KDRT juga dapat berbentuk kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, penelantaran ekonomi, termasuk juga ancaman untuk melakukan KDRT.

Mungkin sudah banyak kasus KDRT yang Anda pernah dengar, namun tidak banyak yang mengetahui dari sisi pelaku. Meskipun istri juga bisa menjadi pelaku KDRT, sebagian besar kasus KDRT tetap dilakukan oleh suami. Salah satu penyebabnya adalah relasi kuasa, dimana konstruksi sosial budaya menempatkan suami (laki-laki) lebih tinggi daripada istri (perempuan). Tanpa disadari, ketimpangan kekuasaan tersebut membuat kondisi penuh tekanan seperti pandemi mampu memancing konflik berkelanjutan yang berujung kekerasan. 

Baca: Ucap Selamat Tinggal Pada Relasi Kuasa

Apa yang membuat seorang suami rentan menjadi pelaku KDRT?

Tidak semua pelaku KDRT mengonsumsi alkohol dan narkoba, pun tidak semuanya melakukan KDRT karena mengikuti pola yang terjadi dalam keluarganya dulu. Pola pikir bahwa posisinya lebih tinggi dibanding istri dan anaknya bisa menjadi pembenaran ketika terjadi kekerasan, sekecil apapun itu.

Apakah hal ini bisa dicegah?

Untuk mencegah terjadinya KDRT, dibutuhkan kemampuan mengelola emosi. Kemampuan ini tentu tidak dibangun dalam semalam, apalagi jika Anda telah terbiasa melakukan hal yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan. Untuk menghindari pola tersebut, ada 6 langkah yang bisa Anda lakukan menurut konselor kesehatan mental, Bill Pelz-Walsh, MA, dan John Ungerleider, EdD, profesor yang mendalami tentang konflik:

1. Mengetahui pemicu emosi

Di balik setiap tindakan, pasti ada emosi yang mendasari respon tersebut. Terkadang, Anda tidak menyadari hal yang menjadi penyebabnya sudah terpendam lama dalam diri. Misalnya, rasa rendah diri, terlalu banyak menanggung beban keluarga, merasa tidak dihargai. Namun, perasaan yang belum “selesai” ini bisa menjadi bahan bakar saat ada kejadian yang memicu emosi. Jadi, menyelesaikan masalah terpendam ini sangat penting. Namun jika belum mampu, lakukan langkah pencegahan selanjutnya.

2. Menyadari saat tanda emosi mulai muncul

Sebelum amarah muncul, biasanya ada beberapa tanda yang Anda rasakan seperti meningkatnya detak jantung, nada suara meninggi, stres, dan pikiran buruk. Saat Anda mulai melihat munculnya salah satu tanda tersebut, maka Anda harus waspada.

3. STOP

STOP adalah kependekan dari S (Stop-berhenti), T (take a deep breath-tarik nafas), O (consider my Options- pertimbangkan beberapa pilihan), dan P (Proceed-lakukan).

4. Menjauh untuk sementara

Masalah mungkin tidak akan menghilang ketika Anda meninggalkan ruangan, namun Anda bisa memilih respon untuk menghadapinya. Keluar dari ruangan tempat sumber masalah muncul bisa menjadi pilihan terbaik untuk Anda dan keluarga Anda. Saat hanya ada Anda sendiri, ubah pikiran buruk dengan pikiran positif. Cari sebanyak mungkin kebaikan istri agar satu kekurangannya yang memicu konflik saat ini tidak membuat Anda marah.

Baca: Pentingnya Self-care untuk Kehidupan Masa Pandemi

5. Merawat diri (self-care)

Emosi juga bisa muncul karena Anda kurang waktu untuk diri Anda sendiri. Self-care adalah cara merawat diri Anda baik fisik maupun mental. Tidur cukup, makan sehat, berolahraga adalah beberapa self-care dasar yang membuat Anda bisa merasa lebih baik. Berbicara dengan teman yang Anda percaya atau berkonsultasi dengan terapis bisa juga menjadi bentuk self-care.

6. Memegang komitmen

Selalu ada kesempatan kedua. Jika Anda terlanjur melakukan kekerasan pada istri maupun anak, minta maaf. Namun, niatkan hal tersebut sebagai lembaran baru yang membuat Anda tidak mengulangi tindakan kekerasan lagi. Jaga komitmen tersebut agar Anda tidak mengulang siklus yang sama, lagi dan lagi.

Tidak ada yang ingin menjadi pelaku kekerasan, jadi bulatkan tekad Anda jika Anda ingin berhenti. Kenali pola Anda saat menghadapi tekaknan, praktikkan langkah di atas hingga terbiasa. Cari dukungan dari pasangan, teman, atau konselor jika perlu.

 

Artikel ini telah di review oleh Sofia Rahmawati, S.H. (konselor hukum Rifka Annisa Women's Crisis Center)