Pada kebanyakan keluarga di Indonesia, pertanyaan anak tentang seks adalah hal yang bisa membuat orangtua panik seketika. Padahal, ini adalah kesempatan emas orangtua untuk menjadi sosok kepercayaan anak untuk menceritakan hal-hal penting dalam hidupnya. Kebingungan orangtua mengenai bagaimana cara menjelaskan pada anak dengan bahasa yang tepat membuat sebagian orangtua menunda penjelasan tentang seks hingga anak dirasa cukup usia. Faktanya, anak sekarang mengenal seks lebih cepat daripada generasi orangtua mereka. Jawaban orangtua yang tidak memuaskan membuat anak mencari tahu jawabannya sendiri.
Dengan banyaknya informasi yang mudah diperoleh di internet, anak bisa saja memiliki persepsi yang salah tentang seks. Penelitian menunjukkan, semakin sering anak terekspos gambar-gambar seksual di media, maka semakin besar pula kemungkinan mereka untuk memulai aktivitas seksual pada usia muda. Karena itu, tidak ada kata terlalu dini untuk memperkenalkan anak dengan seks.
Pertanyaannya, sedini apa orangtua harus memulai pembicaraan tentang seks dengan anak? Cory Silverberg, pengarang buku Sex is a Funny Word: A Book about Bodies, Feelings, and You yang sekaligus seorang Sex Educator, membagi topik pendidikan seks berdasarkan usia. Berikut ini adalah panduannya , seperti yang dimuat dalam situs Today’s Parent.
Usia 0-2 tahun
Sebelum anak bisa bicara, kita bisa mulai memperkenalkan alat kelamin dengan bahasa yang sebenarnya, seperti vagina dan penis. Perkenalkan juga anggota tubuh yang termasuk area sensitif, seperti pantat dan puting. Meskipun terasa aneh, hal ini akan mempermudah anak untuk bercerita ketika mengalami masalah kesehatan di bagian tersebut. Waktu mandi adalah saat yang paling relevan untuk memulai pendidikan seks tahap ini.
Menjelang usia dua tahun, dimana anak mulai sering memainkan alat kelaminnya, kita bisa mengajarkan konsep tentang malu. Ajarkan anak untuk melakukannya hanya di kamarnya atau tempat yang tidak dilihat orang.
Usia 2-5 tahun
Berbicara masalah seks pada usia ini berfokus pada boleh tidaknya orang lain menyentuh bagian tertentu tubuh mereka. Jika bermain yang melibatkan fisik, seperti bergulat dan menggelitik, ajari anak untuk berkata “stop” jika mereka merasa tidak nyaman atau sebaliknya. Hal seperti ini mengajarkan mereka untuk memiliki otoritas atas tubuh mereka dan menghargai hak orang lain atas tubuhnya.
Di Indonesia, dimana masih banyak ditemukan orang dewasa yang menggoda anak kecil dengan cara mencolek, mencium, menggendong paksa hingga anak menangis dengan maksud bercanda, kita perlu mengajarkan anak untuk berani berkata jangan. Tentu saja, kita sebagai orangtua terlebih dahulu membantu menyuarakan isi hati mereka sehingga kelak anak berani bersikap tegas.
Kita juga perlu membuat aturan keluarga mengenai kapan dan dimana saja boleh membuka pakaian agar anak tidak merasa bahwa telanjang di muka umum itu hal biasa karena mereka masih kecil.
Apabila anak mulai bertanya tentang asal mula adik bayi, jawab sesuai tingkat pemahaman anak. Yang paling sederhana adalah dengan menjelaskan bahwa bayi berasal dari dua orang dewasa yang sudah menikah. Namun, jika anak terlihat sudah siap, kita bisa menjelaskan adanya sel sperma dan sel telur yang bersatu. Mengenai caranya, katakan pada anak bahwa kita akan menjelaskannya saat usia mereka lebih besar.
Usia 6-8 tahun
Pada usia ini, anak mulai mandiri menjelajah dunia maya. Buat peraturan seputar mengunggah foto pribadi, berkenalan dengan orang asing, dan pornografi. Jika anak siap, jelaskan tentang pelecehan seksual agar mereka dapat melindungi diri. Seberapa detil kita harus bercerita tergantung dari kesiapan anak. Mengingat sebagian anak sudah mengalami tanda pubertas, tidak ada salahnya menjelaskan tentang perubahan yang akan segera mereka alami.
Usia 9-12 tahun
Perubahan fisik karena pubertas membuat anak tidak percaya diri. Yakinkan mereka bahwa hal tersebut normal. Pada usia 11 tahun, penjelasan mengenai aktivitas seksual sudah dapat dimulai. Wajar jika kita merasa canggung, namun hal ini penting untuk dilakukan. Pilih buku tentang pubertas yang bisa dibahas bersama jika perlu.
Remaja
Pada fase ini, buka pikiran mereka bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis dapat menjadi awal dari aktivitas seksual. Beritahu risikonya agar anak bisa membuat keputusan yang tepat. Penjelasan tentang kekerasan dalam pacaran juga perlu disampaikan, termasuk narkoba dan minuman keras sebagai faktor pendukung. Tidak ada salahnya menjelaskan mengenai alat kontrasepsi sebagai bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi.
Kesimpulannya, membicarakan seks dengan anak tidak semata menjelaskan tentang hubungan seks, melainkan suatu proses berkelanjutan untuk membuat anak paham tentang tubuhnya, dirinya, dan cara mempertahankannya. Yuk cari tau lagi dunia remaja dan serba serbinya, di sini.