Sadarkah Anda, bahwa terkadang ketidaksabaran menghadapi anak dipengaruhi oleh masalah Anda dengan suami ataupun beban pekerjaan? Mungkin kesalahan yang dilakukan oleh anak tergolong sepele, namun seolah Anda melampiaskan kepadanya. Sebaliknya, jika suasana hati sedang baik, Anda bisa lebih sabar dan toleran dengan perilaku negatif anak.

Hal seperti ini dinamakan dengan relasi kuasa, yaitu kondisi dimana seseorang memiliki kuasa atau kekuatan lebih terhadap orang lain. Dalam kasus di atas, orangtua merasa lebih berkuasa, lebih superior dibandingkan anak sehingga pantas untuk memberi anak “konsekuensi” atas perilakunya. Tidak hanya antara Ibu dan anak, kasus kekerasan semacam ini dapat terjadi dari suami ke istri, kakak ke adik, ataupun majikan ke asisten rumah tangga. Tentu saja, banyak yang tidak menyadari bahwa perilaku tersebut dipengaruhi oleh perasaan lebih berkuasa tadi.

Dalam masyarakat, relasi kuasa bisa terjadi antara laki-laki dan perempuan, guru dan murid, dokter dan pasien, bos dan karyawan, orang sehat dan orang sakit, dan masih banyak lagi selama salah satu pihak lebih kuat, baik dari aspek fisik, jabatan, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan usia. Relasi kuasa inilah yang ditengarai menjadi akar penyebab kekerasan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk kekerasan seksual.

Mungkin Anda berpikir, “Keluarga saya baik-baik saja, saya tidak pernah melakukan kekerasan kepada anak saya.” 

Jangan salah, relasi kuasa ini tidak harus terlihat nyata seperti memarahi anak atau mencubitnya. Jika orangtua merasa lebih tahu dan lebih berpengalaman daripada anak kemudian memaksakan kehendaknya, maka hal tersebut juga merupakan wujud dari adanya relasi kuasa dalam hubungan orangtua dan anak. Kekerasannya bukan berupa fisik atau seksual, tapi psikologis. Menurut Pierre Bordeau, seorang sosiolog Perancis, upaya orangtua untuk mengarahkan kehidupan anak-anaknya sesuai dengan pandangan ideal mereka sudah merupakan bentuk kekerasan, yaitu kekerasan simbolik. Dampak kekerasan simbolik tidak dapat dilihat secara langsung karena lebih bersifat menyerang ataupun menentukan bagaimana individu berpikir, melihat, merasakan, hingga bertindak.

Anda sebagai orangtua belum tentu setuju bahwa hal tersebut termasuk kekerasan, apalagi jika anak masih belum dewasa. Orangtua wajib mengarahkan anak agar tidak salah langkah, wajib mendidiknya dengan baik, agar terhindar dari hal-hal yang diinginkan. Ketika anak tidak setuju, tidak masalah bagi Anda untuk “sedikit keras” dengan adanya peraturan, ancaman, larangan agar anak patuh. Toh, orangtua generasi terdahulu tidak memiliki masalah dengan sikap otoriter semacam itu. Anak-anak mereka tetap tumbuh dengan baik.

Betul. Namun, tantangan yang dihadapi oleh anak zaman sekarang jauh berbeda dengan zaman dahulu. Dahulu, tidak masalah menjewer anak sebagai hukuman. Sekarang, anak bisa menjadi perundung jika terbiasa dijewer. Bertengkar dengan orangtua? Anak zaman dahulu curhat di buku harian, sekarang orang-orang asing di dunia maya siap menerima keluh kesah mereka. Dahulu, anak menyembunyikan komik dewasa. Kini, yang disembunyikan bisa jadi sex chat dengan pacarnya. Jadi, timpangnya relasi kuasa antara orangtua dan anak memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya dibandingkan generasi sebelumnya. 

Sikap orangtua yang merasa paling tahu yang terbaik untuk anak ini berpotensi menutupi alternatif pandangan anak yang mungkin saja benar, apalagi jika anak sudah beranjak dewasa. Anak pun jadi takut untuk mengambil keputusan sendiri karena biasa diatur oleh orangtua. Anak yang merasa tidak dihargai pendapatnya juga berpotensi untuk berbohong seperti contoh kasus diatas. Padahal, anak akan mengalami beberapa perubahan dalam hidupnya, seperti pubertas, dimana trust atau kepercayaan anak menjadi modal penting orangtua untuk mendampingi dengan baik. 

Karenanya, selalu ingat untuk menghargai anak sebagai individu yang juga mempunyai pendapat dan keinginan. Anak yang terbiasa dihargai pendapatnya akan tumbuh lebih terbuka, percaya diri, dan bertanggung jawab. Ia pun juga akan terbiasa menghargai orang lain. Jalin komunikasi yang sehat dengan anak, tahu kapan harus menjadi teman dan kapan harus menjadi orangtua. Melarang dan menghukum tetap diperbolehkan, namun tentukan aturan yang jelas di awal sehingga Anda tidak bersikap semena-mena karena lebih berkuasa atas anak. 

Sebaliknya, bagaimana pandangan anak terhadap berbagai isu yang terjadi termasuk masalah komunikasi dengan orangtua? Cari tau juga yuk, apa yang ada di benak dan pikiran anak di sini https://doktergenz.hipwee.com/