"I hate Monday", istilah yang sering digunakan para pekerja untuk menggambarkan betapa malasnya mereka untuk kembali ke rutinitas. Toh, mereka tetap berangkat ke kantor. Tidak demikian halnya dengan anak-anak. Mungkin mereka juga berpikir I hate Monday, namun anak-anak berani membuat berbagai alasan agar bisa tidak sekolah, dari sakit perut, ingin belajar sama Mama, sampai menolak untuk mandi.
Mengapa akhirnya kita tetap berangkat bekerja sementara anak-anak cuek saja jika tidak berangkat sekolah? Jawabannya adalah masih lemahnya self regulation anak. Cari tau seluk beluk self regulation bersama Tari Sandjojo, psikolog sekaligus co-founder Yayasan Matahati.
Apa sih, self regulation itu?
Self regulation atau regulasi diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan “kontrol” terhadap dirinya. “Kontrol” disini kaitannya erat dengan pengaturan emosi dan perilaku terhadap perubahan situasi apapun, yang mampu dilakukan seseorang secara mandiri. Kemampuan meregulasi diri inilah yang membuat seseorang mampu untuk melakukan sesuatu yang kadang berlawanan dengan apa yang dirasakan.
Pada kasus di atas, anak-anak masih harus dirayu atau diingatkan mengenai serunya main bersama teman di sekolah, agar akhirnya mau bangun dan pergi ke sekolah. Mereka belum mampu mengontrol rasa malas mereka.
Apakah self regulation terbentuk dengan sendirinya, atau bisa dilatih?
Regulasi diri adalah ketrampilan, artinya bisa dipelajari atau diajarkan. Albert Bandura, psikolog asal Kanada yang meneliti tentang hal ini, mendefinisikan self regulation sebagai suatu proses aktif dan terus menerus yang kita lakukan dalam berperilaku, termasuk menilai konsekuensi dari perilaku tersebut. Kemampuan mengontrol diri inilah yang kelak memengaruhi pikiran, perasaan, motivasi, dan tindakan kita.
Kapan self regulation bisa ditanamkan pada anak?
Sejak anak mulai belajar ada konsekuensi atau sebab akibat dari perilakunya. Contohnya, saat anak tahu bahwa jika ia menjatuhkan mainannya, mamanya langsung mengambilkan untuknya. Atau saat anak belajar bahwa jika ia menangis, ada yang menggendongnya (membuatnya nyaman). Di sinilah anak belajar aksi-reaksi yang merupakan tahap awal pembelajaran self regulation.
Bagaimana cara menumbuhkan self regulation pada anak?
Jika kita ingin anak mampu mengontrol dirinya, maka latihan terbaik adalah dengan menunjukkan bahwa dirinya memiiki kontrol terhadap banyak hal dalam hidupnya. Kecenderungan parenting style sekarang adalah droning, dimana anak tidak diberikan kesempatan untuk memegang kendali apalagi melakukan kesalahan. Padahal latihan untuk salah, adalah latihan regulasi diri yang baik.
Untuk itu, anak sebaiknya diajak terlibat dalam kegiatan sehari-harinya, sesederhana dilibatkan memilih restoran untuk makan bersama di akhir pekan. Ajak diskusi, mengapa restoran tersebut dipilih, apakah karena makanannya enak, karena ada playground-nya, atau harganya terjangkau? Kemudian, setelah makan lakukan kegiatan refleksi. Apakah benar enak? Hal apa yang paling menyenangkan saat makan tadi? Makanan apa yang paling ia suka?
Cara lain adalah membiarkan anak memilih sendiri outfitnya dari baju dalam, pakaian, sampai sepatu dan tas sehari-hari. Intinya, siklus dari planning, doing, review, menjadi siklus yang penting dan dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari.
Jika anak terlanjur tidak memiliki self regulation, apa yang akan terjadi?
Tentunya anak akan mengalami kesulitan untuk menjadi mandiri. Semua orang tua menginginkan anaknya menjadi mandiri. Tapi memang harus diingat bahwa mandiri di sini bukan sekedar mandiri secara fisik atau sekedar membawa keperluannya sendiri, melainkan mandiri dalam menilai suatu situasi, memilih dengan pertimbangan, sampai pada akhirnya mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab atas keputusannya tersebut.
Bagaimana menumbuhkan self regulation pada anak, jika ia tidak mendapatkan pendidikan itu sewaktu kecil?
Karena regulasi diri adalah suatu keterampilan, maka jika disadari dan disepakati untuk menjadi suatu tujuan pengembangan diri, tentunya bisa dikejar.
Bagaimana dengan anak berkebutuhan khusus?
Perbedaannya adalah bahwa anak kebutuhan khusus memerlukan waktu yang lebih lama dan perlu ada media belajar yang berbeda. Perlu disepakati juga level kemandirian yang ingin dicapai, yang pastinya berbeda-beda untuk setiap anak berkebutuhan khusus (kasuistik).