Tahun 2017 yang lalu, pemerintah melaksanakan imunisasi MR (Measles dan Rubella) secara serentak di Pulau Jawa.
Vaksin yang berguna untuk mencegah penyakit campak dan rubella ini digratiskan bagi seluruh masyarakat mengingat kedua penyakit tersebut dapat menular melalui saluran nafas dan berbahaya bagi anak dan ibu hamil.
Campak dapat menyebabkan komplikasi serius seperti diare, radang paru, dan radang otak. Sementara itu, Rubella dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan jika menginfeksi ibu hamil pada trimester pertama kehamilan.
Untuk mengurangi waswas sebagian masyarakat tentang kehalalan vaksin, pemerintah pun menyertakan fatwa halal MUI dalam setiap bentuk kampanyenya.
Meskipun demikian, hingga kini masih ada orang tua yang memutuskan untuk tidak memvaksin anaknya meskipun resikonya sangat besar. Alasannya tidak hanya masalah halal dan haram
semata, namun berbagai macam pertimbangan seperti efek samping hingga faktor biaya.
Jadi bagaimana sebaiknya, vaksin atau tidak?
Sebagai bahan pertimbangan, berikut ini beberapa hal yang layak diketahui seputar pro dan kontra pemberian vaksin pada anak.
Bahwa imunisasi itu halal
Komisi Fatwa MUI telah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Menurut fatwa tersebut, imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin.
Imunisasi diperbolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya penyakit tertentu.
Bahan untuk vaksin memang seharusnya halal, namun pada beberapa kondisi darurat yang mengancam jiwa atau menyebabkan kecacatan pada seseorang, vaksin yang mengandung unsur haram diperbolehkan. Keterangan bahwa belum ditemukannya vaksin yang halal harus dikeluarkan oleh tenaga medis yang kompeten dan dapat dipercaya.
Tentang mengandung lemak babi
Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik, yaitu enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein. Pada vaksin yang merupakan hasil akhirnya, enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi.
Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian, dan penyaringan. Sama halnya dengan air PAM yang dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, setelah diproses menjadi bersih dan halal.
Vaksin menyebabkan autis?
Tidak benar. Hingga saat ini, tidak ditemukan bukti ilmiah yang menyatakan bahwa vaksin dapat menyebabkan autisme. Thimerosal, bahan pengawet dalam vaksin yang diyakini dapat menyerang sistem saraf pusat dan diduga memicu autisme pada anak, hanya terdapat dalam vaksin DTP (Difteri, Tetanus, Pertusis).
Namun, sejumlah penelitian yang diadakan oleh lembaga independen membuktikan bahwa pemberian vaksin DTP pada anak tidak menyebabkan autisme. Tidak terdapat juga peningkatan risiko berkembangnya autisme setelah menerima vaksin MMR.
Biayanya mahal
Memang tidak semua vaksin digratiskan oleh pemerintah. Beberapa vaksin dasar untuk bayi dan balita harus kita bayar sendiri. Seperti biaya kesehatan lainnya, hal ini bisa kita masukkan ke dalam komponen biaya kesehatan dari penghasilan kita. Tidak ada salahnya menabung terlebih dahulu demi kesehatan buah hati, kan? Kita juga bisa memilih imunisasi di puskesmas untuk biaya yang lebih terjangkau.
Tanpa vaksin tetap sehat, kok!
Jika orang pada zaman dahulu tetap sehat tanpa vaksin, mungkin karena lingkungan hidupnya masih lebih sehat daripada sekarang, mobilitasnya tidak setinggi orang modern, aktivitas
fisiknya juga lebih banyak, makanan yang dikonsumsi pun berbeda.
Jika orang pada zaman sekarang bisa tetap sehat meskipun tidak diberi vaksin, bisa jadi karena pertahanan tubuhnya baik. Namun, kita perlu ingat bahwa setiap manusia memiliki kondisi tubuh yang berbeda-beda sehingga apa yang dialami oleh orang lain belum tentu dapat diterapkan pada tubuh kita.
Memang, kesehatan adalah salah satu rezeki dari Tuhan yang harus disyukuri. Salah satu bentuk syukur tersebut adalah usaha untuk selalu menjaga kesehatan dan mencegah datangnya penyakit.
Namun, kita tidak tahu kapan kita dapat terpapar virus yang membawa penyakit berbahaya selama kita beraktivitas dalam berbagai macam lingkungan.
Bisa saja kita membatasi mobilitas anak untuk meminimalisir terjadinya kontak dengan sumber penyakit, namun kurang bijak rasanya melakukan hal tersebut di kala mereka sedang senang-senangnya bereksplorasi.
Karena itu, pemberian vaksin merupakan salah satu upaya untuk mencegah penularan penyakit berbahaya.
Sebagai gambaran, penyakit cacar (smallpox) telah membunuh 300-500 juta orang sepangjang abad ke-20. Setelah kampanye imunisasi global pada tahun 1980, WHO (organisasi kesehatan dunia) menyatakan bahwa cacar telah berhasil dituntaskan oleh imunisasi.
Kasus polio pun juga mengalami penurunan sebanyak 99% pasca digalakkannya imunisasi. Meskipun vaksin tidak 100% dapat melindungi kita dari penyakit berbahaya, setidaknya resiko tertular dan menulari lebih kecil daripada mereka yang tidak diberi vaksin. Mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan?