“Orang tua mana sih yang enggak gemes kalau anak enggak nurut? Dulu aja nih, kalau orang tua kita bilang A, ya A. Enggak bisa ditawar-tawar. Anak sekarang? Ada aja alasannya, bahkan sampai membantah. Padahal, orang tua tahu yang terbaik untuk anak. Kalau masih enggak nurut juga, terpaksa pakai hukuman.” 

Familier dengan pola pikir semacam itu? Wajar kok, karena ini pola asuh yang sudah melewati berbagai generasi dan kita pun mengalami. Namun, hasil penelitian dan kemajuan ilmu memberikan sudut pandang baru bahwa mengatur anak “secara sepihak” tak selamanya baik, meski niatnya baik. Gentle parenting berusaha untuk menghapus pola asuh dengan paksaan semacam ini.

Gentle parenting adalah pola asuh yang bertujuan untuk menjadikan anak bahagia dan percaya diri dengan cara bekerja sama dengan mereka, alih-alih melakukannya secara sepihak. Dengan gentle parenting, kita bisa memahami bagaimana memposisikan diri agar anak merasa nyaman dengan pola asuh kita. 

Caranya, dengan membuka kesempatan anak untuk berekspresi, menyatakan emosi, dan bereksplorasi. Orang tua diharapkan bisa menerima anak apa adanya, bukannya mencoba membentuknya sesuai harapan kita. 

Pola asuh ini enggak punya aturan baku tertentu, bukan pula datang dari gaya hidup selebriti atau parenting expert, tapi sebuah gabungan filosofi pola asuh dengan banyak strategi yang mungkin sudah kita kenal sebelumnya.

Baca: Menghindari Rasa Marah terhadap Anak

Menurut Sarah Ockwell-Smith, penulis buku The Gentle Parenting Book, ada tiga komponen penting dalam gentle parenting yaitu: 

1. Empati 

Ketika anak sedang melalui hal yang enggak nyaman, coba untuk berada di posisinya. 

“Duh Ibu, buku aku dimana ya? Ini udah jam 7 lagi, telat!” 

Alih-alih menyalahkan karena anak enggak menyiapkan malam sebelumnya, coba rasakan kecemasannya lalu bantu semampunya. 

“Kita cari bareng-bareng ya, enggak usah panik. Kamu cari di kamar, Ibu cari di bawah.” 

Empati adalah pengingat yang baik untuk kita lebih sabar dan bijak dengan masalah yang sedang dihadapi. 

2. Mengerti 

Di komponen ini, kita diharapkan untuk mengerti bahwa anak masih anak-anak, bukan sesama dewasa yang kita anggap sudah mengerti. Dunia mereka masih berbeda dengan kita, walaupun kesehariannya mungkin mereka sudah bisa berpikir logis dan cukup mandiri. 

Kita perlu paham bahwa perspektif kita berbeda dengan mereka, karena kemampuannya memang belum se-berkembang itu. Misal, ketika anak marah karena masih mau main lebih lama di rumah teman sementara sudah waktunya pulang, jangan hanya lihat emosi yang ditonjolkan tapi pahami alasannya. Saat ini, anak hanya bisa mengekspresikan emosi lewat tindakan dan terkadang belum bisa mengontrol emosinya (bukan karena enggak mau, ya) dan kita hanya perlu mengerti. 

Baca: Cara Mengasuh Anak Usia 3 Tahun agar Tetap Waras

3. Menghormati 

Gentle parenting didasari dari saling menghormati yang punya banyak efek baik. Jangan harap anak akan tumbuh dengan penuh rasa hormat, kalau kita enggak membiasakannya dan enggak mencontohkannya. Orang tua yang mencontohkan rasa menghormati akan menumbuhkan anak yang menghargai diri sendiri juga orang lain. Caranya? Dengan mengganti tiap kalimat dengan perkataan yang positif, menghindari ancaman dan kata kasar. Ini adalah contoh menghormati perasaan anak dan membuat mereka jadi lebih menghormati kita juga orang lain. 

Singkatnya, gentle parenting adalah cara kita mencontohkan segala hal baik yang kita ingin anak lakukan, tanpa menyuruhnya. Sehingga, anak bisa bersikap empati, mengerti dan menghormati sebagai tindakan yang otomatis tanpa perlu diingatkan.