Pernah nggak sih, lagi berantem sama pasangan tiba-tiba didiemin? Bukan cuma “melipir” sebentar, tapi benar-benar diam tanpa menuntaskan masalah. Katanya, silence is gold (diam adalah emas) jadi lebih baik diam saat terjadi konflik. Padahal, tergantung situasinya. 

Betul, diam menjadi lebih baik saat emosi sudah memuncak, untuk meredakan amarah sejenak dan refleksi, sehingga bisa berpikir logis lagi dan mencari solusi terbaik. Tapi, jika diam karena males ribut atau enggan mencoba berkomunikasi maka diamnya kita bisa disebut silent treatment. Dan, silent treatment ini enggak sehat dan punya potensi kekerasan. 

Enggak cuma bentuk melarikan diri dari masalah, silent treatment juga bisa menjadi taktik manipulasi yang bisa bikin isu penting dalam sebuah hubungan jadi enggak terlihat, juga menciptakan masalah yang teronggok tanpa solusi. Silent treatment ini juga bikin kita (atau pasangan) merasa enggak diakui, tak dicintai, sedih, bingung, frustasi, marah dan merasa enggak penting. Ketika salah satu pasangan murung, cemberut dan menolak bicara, enggak hanya bikin pasangan lain merasa tak dihargai tapi juga menutup komunikasi sehingga pada akhirnya keduanya pun malas untuk mencari solusi. 

Misalnya, saat kita kesal karena pasangan pulang malam terus, biasanya kita mencoba mengungkapkan apa yang kita rasakan dan bertanya apa alasannya. Sebaliknya, mereka yang melakukan silent treatment mungkin akan mengabaikan kita seharian (atau lebih), dan merespon dengan “aku enggak mau bahas” jika kita mencoba bertanya. Beda ya, antara menolak untuk membicarakan masalah dengan diam untuk menenangkan diri. Jika ini terus berlangsung, masalah akan berlarut-larut dan membuat hubungan menjadi tidak sehat. 

Apa tandanya silent treatment digunakan sebagai cara untuk mengendalikan pasangan?  

  • Tidak memberi respon 
  • Bersikap dingin selama beberapa hari atau minggu
  • Menolak bicara, menatap mata, mengangkat telpon atau merespon chat 
  • Ketika mulai berbeda pendapat, silent treatment jadi senjata 
  • Menggunakan silent treatment sebagai cara mengalihkan tanggung jawab atau kelakuan buruk 
  • Saat merasa kecewa, silent treatment menjadi bentuk “hukuman” 
  • Membuat kita “perlu” meminta maaf sehingga ia mau bicara 
  • Akan bicara saat kita sudah terpuruk, memohon dan putus asa 
  • Menggunakan diam sebagai cara pasif-agresif untuk mengontrol perilaku kita (misalnya, dia enggak suka kita yang banyak tanya, akhirnya menggunakan silent treatment supaya kita jadi enggak banyak tanya) 
  • Menjadi tameng saat terjadi konflik

Bagaimana cara menghadapinya? 

Pertama, sadari terkadang silent treatment bisa terjadi akibat tekanan. Diam adalah cara menjaga diri dari rasa sakit dan semakin sakit. Kita perlu saling bicara saat keadaan baik dan mencoba saling empati.

Kedua, ungkapkan ketidaksetujuan kita atas tindakannya dengan I-message (misal: “Aku” sedih kamu diam saja, bukan “Kamu” selalu saja lari dari masalah). Sudut pandang "aku" bisa menjadi solusi yang tidak menghakimi. Percaya atau enggak, memulai kalimat dengan “kamu” justru bisa memancing emosi sehingga pasangan menjadi defensif. 

Ketika komunikasi tak lagi lancar, dan silent treatment menjadi kebiasaan… 

... ada baiknya untuk mengunjungi psikolog atau konselor. Orang ketiga yang melihat dari sudut pandang luar akan membantu melihat inti masalah dan cara mengatasinya. Sehingga, komunikasi kita dan pasangan menjadi lebih lancar dan terarah sehingga tak ada pihak yang merasa terancam dan menjadikan silent treatment sebagai pilihan. 

Untuk tahu lebih detil bagaimana cara komunikasi efektif dengan pasangan, ikuti kelas Komunikasi dengan Pasangan bersama psikolog Karina Adistiana, M.Psi di www.demikita.id.

 

Referensi: VeryWellMind

Image by Drazen Zigic on Freepik