Saat awal menikah atau mungkin sebelum menikah, pasangan suami istri biasanya sudah membicarakan ingin mempunyai berapa anak. Namun, tak banyak yang langsung menentukan jarak kehamilan. Apa itu jarak kehamilan? Jarak kehamilan adalah jarak antara kehamilan anak sebelumnya dengan kehamilan anak berikutnya. 

Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), jarak kehamilan yang ideal adalah 18-24 bulan, sementara BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) menyarankan kehamilan berikutnya memiliki jarak 3 tahun dan persalinan sebelumnya.

Mengapa harus mengatur jarak kehamilan?

Merencanakan jarak kehamilan ternyata banyak sekali manfaatnya. Bagi ibu, jarak kehamilan yang tak terlalu dekat akan memberi wakut pada organ reproduksi untuk sepenuhnya pulih hingga kembali siap untuk mengandung dan melahirkan. Ibu dan ayah pun tak terlalu kewalahan mengurus anak karena asumsinya anak sebelumnya sudah menguasai beberapa life skills seperti makan sendiri, lulus toilet training, dan tentunya sudah tuntas mendapatkan ASI selama 2 tahun.

Bagaimanapun juga, memiliki anak membutuhkan “modal”, tak hanya secara fisik, finansial, namun juga mental. Banyak kasus orang tua yang secara mental ternyata belum siap menjadi orang tua, yang berpotensi menyebabkan stres, depresi, timbulnya luka pengasuhan bahkan kekerasan terhadap anak.

Selain itu, bagi sang anak sendiri, jarak usia yang cukup dengan saudaranya akan membuat anak tercukupi kebutuhan gizinya, tercukupi kebutuhannya akan perhatian dan kasih sayang karena orang tua bisa mencurahkan waktu yang optimal untuk mendukung tumbuh kembang anak. Hal ini dapat menghindarkan anak dari stunting, atau kurang gizi kronis yang berefek pada tubuh yang kerdil dan kecerdasan yang tidak optimal.

Baca: Atur Jarak Kelahiran Anak, Gizi Pun Optimal

Saya “kesundulan”, apa risiko jarak kehamilan terlalu dekat? 

Tahu tidak, jarak kehamilan yang terlalu dekat bisa meningkatkan risiko kehamilan lho, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Contohnya, plasenta abrupsi atau kondisi terlepasnya plasenta dari rahim sebelum janin dilahirkan. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian janin karena plasenta adalah organ yang menyediakan makanan bagi janin ketika masih di dalam rahim.

Risiko lain dari jarak kehamilan terlalu dekat adalah menempelnya plasenta menutupi sebagian atau seluruh serviks, atau plasenta previa. Ini bisa berbahaya jika si ibu mengalami pendarahan di usia kehamilan tua karena bisa mengancam jiwa sang ibu sekaligus janinnya.

Selain itu, jarak kehamilan yang terlalu dekat dapat menyebabkan berat bayi lahir rendah, ukuran bayi yang kecil berdasarkan usia kehamilan, dan kelahiran prematur.

Tak hanya berisiko secara medis, beberapa ahli kesehatan menyatakan bahwa jarak kehamilan yang terlalu dekat tidak memberikan ibu waktu yang cukup untuk pulih dari stres fisik dari kehamilan sebelumnya. Sebagai contoh, menyusui saat sedang hamil dapat menurunkan kesediaan nutrisi di tubuh ibu, sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin tidak optimal.

Ibu hamil juga rentan terkena anemia defisiensi besi (kekurangan zat besi yang menyebabkan kurangnya sel darah merah) sehingga pasokan nutrisi ke janin terganggu dan dapat menyebabkan bayi terlahir stunting.

Baca: Kapan Seorang Anak Dikatakan Mengalami Stunting?

Bagaimana dengan jarak kehamilan yang terlalu jauh?

Di sisi lain, jarak kehamilan yang terlalu jauh juga menunjukkan beberapa risiko bagi ibu dan bayi. Kehamilan dengan jarak lima tahun atau lebih setelah melahirkan dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan protein berlebih di urin setelah usia kehamilan 20 minggu, atau dalam bahasa medisnya preeklampsia. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat mengancam keselamatan ibu hamil dan janinnya.

Kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan ukuran bayi kecil berdasarkan usia kehamilan juga menjadi risiko kehamilan dengan jarak terlalu jauh.

Saya hamil usia 35 tahun, apakah harus mengikuti jarak kehamilan ideal?

Tidak. Kehamilan di atas usia 35 tahun tergolong kehamilan berisiko, sehingga ibu yang melahirkan anak pertama di atas usia 35 tahun bisa memberi jarak setahun dari kelahiran sebelumnya. Artinya, saat hamil yang kedua, anak pertama setidaknya sudah berusia satu tahun.

Saya sempat keguguran, bagaimana menghitung jarak kehamilan yang ideal?

Hamil lagi setelah mengalami keguguran (maupun kuret) idealnya dilakukan 6 bulan setelahnya menurut WHO, untuk mengurangi risiko komplikasi kehamilan. Meskipun demikian, ovulasi (keluarnya sel telur) bisa saja terjadi 2-4 minggu setelah keguguran yang artinya kehamilan bisa saja terjadi jika kita tidak menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seksual. 

Terlepas dari itu, persiapan mental untuk kembali hamil setelah keguguran juga perlu dipertimbangkan.

Selain jarak kehamilan, apa lagi yang perlu dipertimbangkan sebelum berencana hamil lagi?

Merencanakan kehamilan selanjutnya juga harus mempertimbangkan hal lain seperti kesehatan, umur, fertilitas atau kesuburan, kualitas hubungan kita dan pasangan, berapa anak yang ingin dimiliki, akses ke fasilitas kesehatan, dan keadaan sosial ekonomi.

Jangan lupa, pastikan rencana jarak kehamilan tercapai dengan menggunakan alat kontrasepsi. Selain lebih efektik daripada KB kalender dan ejakulasi di luar, alat kontrasepsi tersedia dalam berbagai macam pilihan sesuai dengan kebutuhan kita. Cek 10 jenisnya di sini.

 

Image by jcomp</a> on Freepik