Istilah toxic parents makin populer seiring dengan maraknya pembahasan mengenai inner child dan luka pengasuhan, yaitu ketika pola pengasuhan yang salah ternyata menimbulkan trauma dan tanpa disadari kita ulangi ke generasi selanjutnya. Kita pun akhirnya berusaha keras untuk memutus rantai luka pengasuhan agar tak berulang ke anak. Sayangnya, banyak dari kita yang masih menyimpan luka dan amarah sehingga sulit memaafkan orang tua kita dan akhirnya malah berbalik menjadi anak yang toxic untuk mereka. 

Menurut Cut Maghfirah Faisal, M.Psi, Psikolog dari KALM, seorang anak yang sudah dewasa, bisa saja berperilaku toxic pada orang tuanya terutama mereka yang masih memiliki unfinished business (masalah yang belum selesai) dengan orang tuanya. Luka dan dendam akibat perlakuan orang tuanya semasa kecil masih membekas pada kita, dan sulit untuk memaafkan. Ketika hal ini terjadi, dan kita belum mampu berdamai dengan diri maka bukan tak mungkin kita berperilaku toxic pada orang tua. 

Seperti apa sih perilaku toxic kita pada orang tua? 

“Anak toxic” tak lagi memperlakukan orang tua dengan cara yang baik, baik secara fisik, emosional, finansial dan lainnya. Bisa juga menunjukkan perilaku kasar, mengucapkan kata-kata kasar, menelantarkan orang tua, dan terus menyalahkan orang tua akan apa yang terjadi pada kita. Padahal, semua perlakuan ini punya dampak yang negatif bagi kita dan orang tua.

Dampak bagi kita 

Dengan menyimpan luka dan memelihara dendam, energi dan emosi kita tentu akan terkuras. Akan sulit menjalankan kehidupan tanpa ada kedamaian dalam diri. Kalau sudah begini, bukan tak mungkin kesehatan mental kita akan terganggu juga, kan? 

Dampak bagi orang tua kita 

“Saya tak bisa mengungkapkan rasa tak nyaman pada anak, karena saya tahu saya menyebabkan ini semua. Selain itu, saya masih bergantung secara ekonomi. Belum lagi kondisi fisik yang sudah melemah karena usia,” curhat Susanti, 65 tahun. 

Ungkapan hati Ibu Susanti di atas tentu bisa memberi gambaran pada kita betapa mereka pun tak serta merta bisa menolak perilaku toxic anak mereka. Di usianya yang senja, merasa tertekan dan sakit hati bisa menurunkan kualitas kesehatan mental secara umum dan bisa memengaruhi kesehatan fisik pula. Belum lagi, kerugian saat terjadi kekerasan fisik dan finansial. 

Jika orang tua tak bisa menolak perlakuan kita, akankah perilaku toxic ini akan terus terjadi? 

Ya, perilaku toxic ini akan terus berlangsung jika tak ada pihak yang mau berubah. Hanya ada dua pilihan untuk menyelesaikan konflik ini. Pertama, kita yang berusaha berdamai dengan diri dan mengubah cara pandang serta perilaku atau orang tua yang berusaha menyampaikan ketidaknyamanannya dan berusaha bersama menjalin hubungan yang lebih baik. Tak mudah, memang. Tapi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan memutus rantai toxic, dibutuhkan usaha yang kuat (baik dari kita ataupun orang tua). 

Bagaimana agar kita terhindar dari perilaku toxic kepada orang tua?

Untuk menghindari perilaku toxic kepada orang tua, sangat penting bagi kita untuk berdamai dengan masa lalu dan memaafkan kesalahan-kesalahan yang pernah orang tua lakukan. Kita perlu menyadari bahwa orang tua merupakan makhluk yang penuh dengan keterbatasan dan ketidaktahuan dalam membesarkan anak, terlebih orang tua di zaman dahulu yang minim informasi. 

Kita hanya bisa mengontrol apa yang bisa kita kontrol. Ketika luka sudah tertoreh dalam hati, memang terasa sulit untuk sembuh tapi adalah sebuah pilihan apakah kita ingin terjebak di masa lalu dan membawa dendam di sisa hidup kita atau kita mau mencoba memaafkan dan hidup berdampingan dengan damai dengan orang tua. 

Jika kita masih intens bertemu dengan orang tua dan sikap mereka masih bisa memicu luka lama, sementara kita merasa sulit mengendalikan diri untuk bersikap baik, coba ikuti kelas Berdamai dengan Diri bersama Alzena Masykouri, M.Psi, Psikolog di www.demikita.id.

 

Image by jcomp on Freepik