Dari sekian banyak tingkah polah anak yang membuat kita “meledak”, berapa banyak yang sebenarnya disebabkan oleh perilaku si anak sendiri? Mungkin saja, sebagian besar luapan emosi yang mewujud dalam bentuk amarah tadi bukan karena anak bikin kotor seisi rumah atau mengganggu kita bekerja, tapi karena sebenarnya kita sedang kelelahan, tak harmonis dengan suami, bahkan dikejar tenggat perkerjaan. Akhirnya, anak pun jadi “pelampiasan emosi” orang tua, tanpa kita sadari. Atau, mungkin kita sadar tapi tak mampu mengontrol diri. Benarkah demikian?

Menurut Winarti Dewi Handayani, M.Psi, Psikolog dari @get.kalm, menjadi orang tua berarti harus siap untuk saling bekerja sama dalam mengasuh anak. Yang sering terjadi adalah ketimpangan kewajiban antara suami dan istri. Cara pandang suami hanya sebagai pencari nafkah sementara istri yang mengasuh anak membuat beban ibu menjadi berat. Ibu merasa tertekan, merasa sendiri, lelah secara emosi, hingga akhirnya melampiaskannya pada anak.

Selain itu, relasi kuasa juga bisa menjadi salah satu faktor ibu atau orang tua melampiaskan emosi pada anak. Kenapa? Karena orang tua merasa lebih superior dan anak dianggap sebagai individu yang lemah dan perlu bergantung dengan kita. Ironisnya, kita tak dapat menerima saat anak dihukum orang lain ketika melakukan kesalahan sementara kita bisa lebih ekstrim menghukum mereka dan meninggalkan luka trauma pada anak, baik secara sadar maupun tidak. 

Baca: Ucap Selamat Tinggal pada Relasi Kuasa

Apa dampaknya?

Adapun dampak yang nyata terlihat pada anak yang mengalami kekerasa baik secara fisik maupun emosi antara lain: 

  • Anak kurang memiliki empati 
  • Anak tidak dapat menampilkan perilaku yang tepat ketika bersosialisasi
  • Anak kesulitan dalam memahami emosi orang lain
  • Kesulitan menahan keinginan
  • Perilaku yang terbentuk tidak sesuai norma atau meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya

Perlahan tapi pasti, emosi yang sulit terkendali membuat kita masuk dalam lingkaran toxic parent

Apa sih ciri-ciri toxic parents

  • Menggunakan kata kasar, bernada tinggi, dan mudah terpicu emosi
  • Mengabaikan dan menelantarkan anak
  • Melakukan kekerasan fisik dari level paling ringan hingga berat

Bagaimana cara menahan diri agar anak tak jadi pelampiasan emosi?

Saat emosi sudah tidak terbendung dan ingin segera dilepaskan cobalah lakukan ini! 

1. Mengalihkan pandangan dengan menyebutkan 5 benda di sekitar kita

2. Mengatur napas perlahan

3. Minum air putih atau berwudhu (atau membasuh wajah untuk menyegarkan diri) 

4. Selanjutnya, peluk anak dan ajak berbicara untuk memahami apa yang dia inginkan atau alasan dia melakukan hal tersebut. Kita perlu memahami bahwa mereka masih belum mampu menyuarakan keinginannya secara jelas seperti orang dewasa. Mereka juga belum memahami sepenuhnya konsekuensi dari perilaku yang dilakukan kepada orang lain. Untuk itu kita perlu memberi pengertian dan pemahaman dengan sabar. 

Jika emosi terlanjur terlampiaskan ke anak, bagaimana?

Pertama, peluk anak dan meminta maaf, lalu berusaha untuk tidak mengulangi. Cobalah memberi contoh langsung kepada anak, karena kitalah panutan mereka. 

Setelah itu, coba benahi ikatan dengan mengajaknya berbicara atau menanyakan bagaimana harinya. Tanamkan di dalam diri, bahwa anak juga ingin dipahami dan dimengerti sama halnya dengan orang dewasa.

Baca: Luka Pengasuhan di Masa Lalu, Dapatkah Disembuhkan?

“Anak saya tumbuh dengan trauma masa kecil, ketika saya dan suami belum pintar mengelola emosi. Kini ia menjadi anak yang pemarah, cemas, dan negatif. Bagaimana, ya memulihkannya?” 

Orang tua yang hebat adalah orang tua yang mampu menyadari kesalahan diri dan berusaha untuk memperbaiki. Sebelum kita memulihkan luka anak, coba untuk memulihkan luka diri dahulu. Maafkan diri yang telah melakukan kesalahan kepada anak di masa lalu dan menerima kondisi serta emosi sebagai konsekuensi. Ketika kita sudah bisa berdamai dengan diri, baru kita bisa fokus menyembuhkan luka anak. 

Menurut Susan Wright, trauma sangat berbeda dengan fobia karena bisa dihindari. Mereka dengan trauma akan selalu hidup dengan masa lalunya walaupun kejadian tersebut tidak dialami kembali. Tapi tak ada kata menyerah, kita masih bisa menyembuhkan luka pada anak dengan cara:  

  1. Membangun kembali bonding dengan anak, mengajak berbicara, menanyakan kabar dan deep talk (bicara dari hati ke hati) untuk mengetahui secara spesifik trauma apa yang masih ia ingat.
  2. Meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan dahulu dan menyebabkan anak mengingatnya sebagai kenangan yang buruk.
  3. Menunjukkan bahwa kita ada untuk mereka, bersama-sama membangun kenangan baru yang jauh lebih indah.
  4. Jangan ragu untuk menghubungi konselor jika membutuhkan bantuan. 

Dengan memberi anak kebebasan dan pendampingan yang tepat, maka anak akan tumbuh menjadi individu yang percaya diri, cerdas secara emosi, dan bertanggungjawab. Ingatlah, kita tidak sempurna begitu juga anak. Terima mereka dan berikan kasih sayang yang cukup maka hidup mereka akan sempurna.

 

Image by master1305</a> on Freepik