“Akhirnya, selamat datang ke dunia, Nak..” tulis seorang ibu yang baru saja melahirkan, di media sosialnya. Tak lama berselang, ucapan selamat pun membanjiri kolom komentar di unggahan tersebut. Sayang, satu komentar “Wah, selamat ya! Normal atau caesar nih?” memicu persaingan antara dua kubu yang saling menunjukkan kelebihan persalinan normal dan caesar. Fenomena semacam ini tak sulit ditemui di media sosial para ibu, apakah itu tentang menyusui vs susu formula, ibu bekerja vs ibu rumah tangga, pemberian gadget, pola asuh, sekolah pilihan, dan masih banyak lagi. Pertanyaannya, mengapa persaingan para ibu di media sosial semacam ini marak terjadi?
Naluri kompetisi sejak anak lahir
Dikutip dari telegraph.co.uk, penelitian yang dilakukan pada 3.000 orang ibu menunjukkan bahwa naluri kompetisi ibu dimulai sejak pertama kali mereka melahirkan. Separuhnya bahkan mengaku sangat terobsesi untuk memamerkan setiap perkembangan anaknya.
Pada survey tersebut juga ditemukan bahwa ada 39% ibu yang mengumbar kesuksesan prestasi anak di sekolah, sementara 27% mengaku mereka telah melakukan diet ketat demi menurunkan berat badan pasca melahirkan. Tak jarang juga yang rela ‘berbohong’ mengenai suami mereka. Ada pula 39% ibu lainnya yang merasa gagal memamerkan diri, anak, dan keluarga akibat ketidakmampuan yang dimiliki.
Komentar “pedas” picu persaingan
Menurut Heather Quinion, seorang psikiater di Connecticut, AS, kebanyakan pasiennya mengalami masalah dengan mean mom alias ibu yang nyinyir, merasa paling benar, suka menghakimi, manipulatif sehingga membuat ibu lain merasa tertekan karena tak bisa bersaing.
Cibiran sinis para ibu juga sering terlihat di akun media sosial selebrita ketika mereka menggugah foto anaknya atau saat berbagi pengalaman mengurus anak. “Anaknya kurus sekali, harusnya dikasih vitamin tuh!” atau “Waktu anak saya seumur itu, kayaknya sudah bisa diajak bicara deh…” dan segala lontaran pedas berbau persaingan muncul dengan derasnya tanpa batasan.
Inilah yang akhirnya membuat para ibu terobsesi untuk membuat dirinya (dan anaknya) memiliki pencapaian seperti ibu dan anak lain di media sosial, tanpa melihat bahwa setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
“Bersaing untuk menjadi orang tua terbaik dan berusaha menjadikan anak menjadi nomor satu justru akan mendatangkan kerugian,” ujar Jean Shasi, psikoterapis sekaligus Direktur Relationship Matter di Singapura. Kompetisi tidak sehat ini kerap berujung penekanan pada anak untuk bisa melakukan hal yang belum bisa dilakukan, maupun memaksa diri kita sendiri untuk menjadi orang lain demi apresiasi dan nilai lebih di antara orang tua lainnya.
Alih-alih menuntut anak untuk menjadi lebih unggul di antara anak lain, berikan ruang padanya (dan kita) untuk menikmati proses belajar tanpa tekanan. Kita juga bisa melakukan beberapa hal berikut ini untuk mencegah diri terjebak dalam persaingan antaribu:
1. Pahami bahwa tiap anak berbeda
Semua anak memiliki keunikannya masing-masing, jadi kita tak pernah bisa membandingkan anak kita dengan anak yang lain. Bahkan, antara kakak dan adik pun memiliki tumbuh kembang yang berbeda, meski orang tuanya sama. Dengan memahami konsep ini, kita jadi punya batasan dan nilai yang ingin diterapkan pada diri kita dan anak kita.
2. Jangan mudah terpengaruh
“Eh, si A kan anaknya cuma ASI 3 bulan karena mesti bekerja. Sayang, ya… padahal kan bisa diusahakan lebih maksimal”. Sebagai ibu yang berhasil mengASIhi selama dua tahun, kita rasanya jadi ingin ikut menimpali karena ternyata kita mampu. Eits, tahan dulu jempol kita sebelum membalas. Kita tak bisa menyamakan keadaan dengan orang lain karena tak pernah berada di posisinya. Jangan mudah terpengaruh untuk ikut menghakimi, jangan pula terpengaruh untuk ikut “bercerita” tentang pencapaian diri. Ingat, apa yang kita anggap wajar dan baik, belum tentu sama dengan penilaian orang lain.
3. Batasi aktivitas media sosial
Begitu bahagianya kita, sampai-sampai tiap pencapaian anak kita unggah di media sosial. Hal tersebut sangat wajar, tak ada salahnya. Tapi, sadari pula bahwa hal tersebut bisa memicu persaingan para ibu, bahkan kolom komentar unggahan tersebut bisa berubah menjadi “mommy wars” alias ajang perdebatan sengit untuk menunjukkan pola asuhnyalah yang terbaik. Karena itu, membatasi diri untuk mengunggah pencapaian kita di media sosial bisa menjadi solusi, juga membatasi aktivitas kita melihat pencapaian ibu-ibu lain yang berpotensi membuat kita jadi insecure.
Persaingan sebenarnya dapat membuat kita lebih semangat untuk melakukan yang terbaik. Tapi, jika niat yang ada dalam diri adalah untuk terlihat lebih baik daripada ibu-ibu lain di luar sana, hal ini dapat berbahaya bagi kesehatan mental kita. Memiliki anak bukan untuk adu hebat, tapi membuka ruang untuk tumbuh kembang yang maksimal sesuai kemampuan.
Image by Freepik