Waktu awal pacaran, segala kebiasaan yang ‘enggak biasa’ dari pasangan masih bisa dimaklumi, masih bisa ditoleransi. Pasalnya, hati masih berbunga-bunga terkena “virus” cinta. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan buruknya makin lama makin terasa mengganggu? Hati mulai meragu, gimana nanti kalau sudah menikah? Mungkinkah kita mengubah kebiasaan buruk pasangan?

Sebelum menjawabnya, kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan kebiasaan, apa pula bedanya dengan sifat. Menurut Cut Maghfirah Faisal, M.Psi, Psikolog (Psikolog Klinis & Koordinator Kalmselor KALM), kebiasaan (habit) adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan secara teratur/ sering, sementara sifat (trait) dapat diartikan sebagai karakter atau ciri khas yang cenderung menetap pada diri seseorang. 

Contoh, A memiliki sifat rajin. Sifat tersebut membuat ia mempunyai beberapa kebiasaan, seperti rutin membersihkan kamar setiap pagi, merapihkan barang setelah dipakai, dan lainnya. Pada dasarnya sifat dan kebiasaan memiliki kaitan yang sangat erat, hanya saja sifat lebih mengacu pada karakter, sementara kebiasaan lebih mengacu pada perilaku.

Ada enggak sih, contoh kebiasaan yang sudah “mengakar” dari kecil? 

Kebiasaan bisa saja terbentuk sejak kecil dan dibawa hingga dewasa. Sebagai contoh, seseorang yang sudah terbiasa untuk berbohong sejak kecil guna menghindari konflik bisa saja membawa kebiasaan itu hingga dewasa. Alhasil ketika ia sudah dewasa, ia sering melakukan kebohongan dengan tujuan untuk menghindari konflik atau masalah dengan orang lain.

Sejauh mana kita bisa menoleransi kebiasaan buruk pasangan? 

Hal ini tentu saja sangat subjektif, karena satu kebiasaan bisa dianggap ‘buruk’ bagi seseorang, namun dianggap ‘biasa saja’ bagi orang lain. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui hal-hal apa saja yang penting bagi diri kita dan hal apa saja yang kurang penting bagi diri kita. Sebagai contoh, bagi orang yang menganggap ketepatan waktu sebagai hal yang sangat penting, mendapatkan pasangan yang sering terlambat mungkin bisa menjadi masalah besar. Akan tetapi bagi orang yang merasa hal itu tidak terlalu penting, maka dia tidak akan menganggap kebiasaan terlambat dari pasangannya sebagai masalah. 

Hal lain yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan rating ‘Seberapa mengganggukah kebiasaan pasangan?’. Kita bisa memberikan rating 0 (tidak mengganggu sama sekali) hingga 10 (amat sangat mengganggu). Jika kebiasaan tersebut tergolong mengganggu hingga sangat mengganggu bagi kita, kita bisa menyampaikannya dengan baik-baik kepada pasangan dan memberikan masukan mengenai apa yang perlu ia ubah. 

Masih bisa enggak ya, kebiasaan buruknya kita ubah? 

Perlu dipahami, kita tak akan bisa mengubah orang lain apalagi kalau dia tak ingin berubah. Yang bisa kita lakukan hanya memberi masukan mengenai apa yang perlu diubah dan mengapa perubahan itu penting untuk kita. 

Selain itu, kita juga perlu menjelaskan perubahan apa yang kita inginkan. Misal, saat pasangan menghindari konflik alih-alih membicarakannya, beri penjelasan perilaku apa yang kita harapkan darinya. 

Saling meluangkan waktu untuk bicara saat mengalami konflik, bisa menjadi solusi agar kedua belah pihak bisa saling berkomunikasi dengan baik. 

Selain itu, memberikan apresiasi atas perubahan kecil yang pasangan tunjukkan juga bisa memotivasinya untuk terus berubah menjadi lebih baik. 

Katanya, kebiasaan buruk itu bisa bertambah saat sudah menikah nanti. Benarkah? 

Kebiasaan buruk seseorang bisa saja bertambah atau berkurang setelah menikah, tergantung dinamika hubungan dengan pasangan, serta motivasinya untuk berubah. 

Jangan patah semangat saat pasangan masih berusaha untuk menjadi lebih baik. Lagi-lagi tak ada yang sempurna, selama masih dalam batas toleransi kita, kebiasaan buruk bisa kita ubah secara perlahan. Ingat, menjalani pernikahan adalah untuk saling melengkapi bukan menjadi pribadi yang merasa lebih baik. 

 

Image by garetsvisual</a> on Freepik