Beberapa waktu silam, seorang ibu mengunggah di akun Instagram @misisdevi adegan pengejaran seorang pria yang “mencolek” bagian pribadi anaknya di sebuah mal di Tangerang Selatan. Pria yang diduga ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) tersebut sempat berusaha lari hingga akhirnya ditangkap sekuriti dan dibawa ke pihak kepolisian. Keberanian sang ibu patut diacungi jempol. Sayang, tak semua orang tua berani melakukan ini, bahkan anak pun tak paham bahwa “dicolek” pun termasuk bentuk pelecehan seksual.
“Kan cuma sekadar dicolek, masa iya masuk pelecehan?”
Kita harus melihat terlebih dahulu seperti apa dan bagian mana yang dicolek. Dalam kasus di atas, bagian pribadi anaklah yang dicolek. Merujuk pada definisinya, pelecehan seksual sendiri terdiri dari beberapa bentuk, salah satunya adalah perhatian seksual yang tidak diinginkan: sentuhan, pelukan, elusan, ciuman, tekanan terus-menerus untuk melakukan kencan atau tindakan seksual (Sarah. L Cook, dkk). Sehingga, kasus di atas bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Sementara itu, menurut aturan hukum di Indonesia, pelecehan seksual tersebut disebut dengan istilah pencabulan. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bima Suprayoga, SH, M.Hum, hal yang masuk dalam pencabulan dalam KUHP pasal 289 adalah tindakan memegang, meraba, mengucap kata kotor, meremas, dan sejenisnya tanpa ada persetujuan.
Berarti, pelaku tadi bisa dituntut secara hukum?
Bisa. Pencabulan pada anak diatur oleh Pasal 293 KUHP tentang Pencabulan Anak dengan hukuman selama-lamanya 5 tahun dan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sanksi pidana berupa hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, dan denda paling banyak 5 miliar rupiah.
Bagaimana cara melaporkannya ke kepolisian?
1. Kunjungi kantor polisi setempat lalu datangi bagian SPKT atau Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu. Kita semua punya hak yang sama untuk membuat laporan pengaduan dan polisi harus menanggapi.
2. Buat laporan terkait pencabulan anak secara jelas sesuai dengan kronologisnya. Sebut pelaku, korban, lokasi, dan waktu kejadian serta hal yang berkaitan dengannya.
3. Usahakan sertakan bukti yang kuat, jika tak ada saksi lain maka korban bisa menjadi saksi.
4. Setelah membuat laporan pastikan untuk meminta Surat Bukti Laporan dari penyidik dan kenali pihak yang bertanggung jawab terhadap penyidikan. Sehingga, kita bisa terus mengawasi proses penindaklanjutan laporan.
Selain ke kantor kepolisian, KPAI juga bisa menjadi opsi
Jika kita belum yakin dengan pengaduan langsung ke polisi, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bisa menjadi tempat pengaduan pertama untuk memastikan anak mendapat hak dan perlindungan hukum. Ketika kita melaporkan pencabulan anak, KPAI bisa membantu mendampingi untuk membuat laporan pengaduan polisi serta pendampingan hukum hingga pelaku mendapatkan ganjaran hukum yang sepantasnya.
Kalau ternyata pelakunya ODGJ, masih bisakah diproses secara hukum?
Sama seperti hukum agama, orang yang kehilangan akal atau gila dan tidak waras dianggap kebal hukum karena tidak sadar akan perbuatannya. Tapi.. ini harus dibuktikan dulu lewat pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa pelaku benar-benar tidak waras (gila). Jika tak terbukti, maka proses hukum kembali dilakukan.
Sebagai orang tua kita perlu selalu awas dengan apapun yang terjadi di sekitar anak. Terpenting lagi, kita perlu bekali anak dengan proteksi diri dan mengenal sentuhan apa yang wajar dan tidak baik dengan orang yang dikenal maupun asing. Ketika ada tindakan yang diluar wajar, tak perlu ragu untuk segera melaporkan pada pihak yang berwajib.
Artikel terkait:
- 5 Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang Sering Dianggap Biasa
- Ajari Anak Menolak Sentuhan Tak Pantas
- Belajar Menolak Tanpa Harus Menyinggung
- Tonic Immobility, Alasan Korban Kekerasan Seksual Tak Sanggup Melawan
Photo created by YuliiaKa - www.freepik.com