Rani (35 tahun), menikah dengan Rama (40 tahun) sudah 11 tahun lamanya. Selama ini mereka merasa tak punya masalah komunikasi. Mereka selalu berbagi pengalaman dan cerita di ujung hari, di sela kesibukan pun mereka tak luput menanyakan kabar. Namun, sering kali komunikasi yang lancar ini malah berujung ‘ribut’ alias berantem. Padahal, masalahnya sepele. Misalnya, adu debat perkara berita di TV atau sesimpel "mau makan apa?". Selalu aja ada yang ‘ngegas’ lalu berakhir konfik. Di mana salahnya, ya? 

Kunci dalam pernikahan memang komunikasi, tapi caranya sudah benar belum? 

Menurut Cut Maghfirah Faisal, M. Psi, Psikolog (Psikolog Klinis & Koordinator Kalmselor KALM), komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memberikan ruang bagi kedua pihak untuk tetap jujur dan terbuka akan perasaan atau pendapatnya dengan tetap memperhatikan penyampaian yang baik agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Jenis komunikasi yang menjunjung dua hal ini disebut komunikasi asertif, di mana salah rumusnya adalah “I-message” alias menggunakan sudut pandang “aku”. 

Misalnya, “Aku senang deh, kalau kamu ikut bantu urus rumah” atau “Aku kurang suka kalau kamu main HP terus”. Dengan begitu, kita bisa mengungkapkan perasaan tanpa menyakiti perasaan lawan bicara. Plus.. ditambah dengan nada bicara baik, ya.. alias hindari ‘ngegas’. 

Sering ngobrol dengan pasangan bisakah jadi jaminan komunikasi kita dalam pernikahan sudah aman? 

Belum tentu, ada beberapa faktor yang memengaruhi komunikasi. Misalnya, apakah kedua belah pihak merasa nyaman dengan pola komunikasi yang terjalin? Adakah pihak yang merasa sakit hati dengan pola komunikasi pasangannya? Dan, sejauh mana kedua belah pihak bisa jujur dan terbuka dengan pasangannya. 

Apa aja sih kesalahan komunikasi yang biasa terjadi dalam pernikahan? 

Diam atau berbohong demi menghindari konflik ketimbang jujur adalah hal yang paling sering dilakukan pasangan. Alih-alih berniat untuk menghindari konflik, ini malah justru berisiko memicu pertengkaran. Apabila pasangan lebih memilih untuk berbohong dan menyembunyikan perasaan tandanya ada kesalahan dalam pola komunikasi antar suami istri. Biasanya, ini terjadi karena si pemberi pesan tidak bisa mengomunikasikan perasaannya dengan baik. Terlalu agresif, misalnya. Atau bisa juga penerima pesan yang justru tak bisa menerima pesan dengan baik karena terlalu sensitif dan tak berkepala dingin saat mendengar lawan bicaranya. 

Lagi-lagi, solusinya adalah dengan komunikasi asertif serta belajar menjadi pendengar yang baik.  

Sudah bertahun-tahun menikah, tapi tetap saja sama (seperti kasus Rani) harus bagaimana memperbaikinya, ya? 

Apabila komunikasi antar suami dan istri tak kunjung membaik, bantuan profesional seperti psikolog atau konselor pernikahan bisa menjadi solusi. Mereka dapat membantu mengidentifikasi akar masalah yang dialami oleh pasutri, mendengarkan sudut pandang dari kedua belah pihak, serta merumuskan solusi yang bisa membantu meningkatkan kualitas hubungan. Kita juga bisa lho, mempraktikkan tata cara komunikasi yang baik (maupun yang tidak) di depan psikolog atau konselor. 

Jadi, komunikasi dalam pernikahan ternyata tak sekadar rutin berbicara dengan pasangan. Namun, komunikasi ini juga harus bisa menjadi cara untuk saling memahami. Termasuk, memahami kebutuhan masing-masing dan cara mengungkapkannya, ya! 

 

Artikel terkait:

 

Photo created by our-team - www.freepik.com