Awal menikah, kekurangan pasangan nampaknya bukan masalah besar. “Kuterima apa adanya”, begitu istilahnya. Namun, makin hari kekurangan pasangan itu makin mengganggu, hingga batas toleransi kita makin tipis. Ini belum termasuk masalah rumah tangga yang muncul lalu kemudian jalan keluar yang dipilih pasangan berbeda dengan yang kita inginkan. Suasana pun menjadi tak nyaman, berlangsung terus menerus, hingga kita terpikir untuk berpisah. Jangan putus asa dahulu, melakukan konseling pernikahan bisa jadi babak baru penyelesaian masalah rumah tangga. Pertanyaannya, pada masalah seperti apakah konseling pernikahan diperlukan?
“Pada dasarnya konseling pernikahan tidak hanya ditujukan untuk pasangan yang sedang mengalami masalah. Konseling pernikahan juga dapat dilakukan sebagai “check-in point” untuk mengevaluasi kualitas hubungan pasutri (pasangan suami istri) agar kualitas hubungan mereka meningkat dan berkembang,” jelas Cut Maghfirah Faisal, M.Psi, Psikolog, psikolog klinis & Koordinator Kalmselor KALM.
Walau demikian, terdapat beberapa “lampu merah” yang menandakan bahwa pasutri sangat membutuhkan konseling pernikahan, yaitu ketika:
- keduanya sudah mengalami konflik berkepanjangan yang tidak kunjung dapat diselesaikan,
- sering mempermasalahkan hal yang sama terus menerus,
- mudah terpicu oleh masalah kecil,
- terus berkomunikasi secara negatif, bahkan tidak berkomunikasi sama sekali, serta
- masalah dalam relasi seksual.
Haruskah keduanya mengikuti konseling pernikahan?
Menurut Cut Maghfirah, idealnya konseling pernikahan membutuhkan keterlibatan suami dan istri. Biasanya konselor/psikolog akan menyediakan sesi individual dan sesi pasangan. Dengan demikian, konselor/psikolog dapat mengetahui sudut pandang dari masing-masing suami dan istri sebelum akhirnya memberikan terapi yang dibutuhkan.
Bagaimana jika salah satu pihak ingin konseling, tapi pasangannya menolak?
Pihak yang mau konseling dapat berkonsultasi sendirian dengan menceritakan duduk permasalahan selengkap-lengkapnya. Konselor/psikolog akan berusaha mendorong klien tersebut untuk melakukan hal-hal yang dapat ia lakukan dan berada di bawah kendalinya untuk memperbaiki relasi suami-istri.
“Meskipun tidak ideal, hal ini tetap lebih baik dibanding tidak konseling sama sekali. Pihak yang mengikuti konseling juga dapat pelan-pelan memberikan dorongan bagi pasangannya untuk mengikuti konseling dengan menjelaskan manfaat konseling serta pengalamannya dalam mengikuti konseling,” lanjutnya.
Apa manfaatnya jika pasutri tersebut melakukan konseling pernikahan?
Melalui konseling pernikahan, pasutri dapat belajar memahami masalah yang dihadapi dari sudut pandang masing-masing dengan panduan dari konselor/psikolog. Setelah mengetahui hal tersebut, mereka akan diajak untuk mendiskusikan beberapa alternatif solusi beserta plus minus dari masing-masing alternatif.
Konselor/psikolog juga akan memberikan terapi atau psikoedukasi yang dibutuhkan oleh pasutri, seperti cara berkomunikasi yang efektif, tips meminimalisir kesalahpahaman dalam hubungan, dan sejenisnya.
Berapa kali minimal harus konseling agar masalah selesai?
Jumlah sesi konseling yang dibutuhkan oleh masing-masing pasutri dapat berbeda satu sama lain. Hal ini tergantung pada seberapa berat masalah yang dihadapi serta bagaimana perkembangan pasutri setelah mengikuti konseling.
“Biasanya, konseling pernikahan membutuhkan minimal 3 sesi, yang mencakup 1 sesi individual istri, 1 sesi individual suami, dan 1 sesi pasangan. Konselor/psikolog akan merekomendasikan sesi konseling tambahan jika dirasa butuh,” jelas Cut Maghfirah.
Jika kita memiliki masalah dalam rumah tangga yang tak kunjung menemui titik terang, jangan ragu untuk menghubungi konselor pernikahan. Kunjungi website KALM atau unduh aplikasinya di Playstore.
Artikel terkait:
- 6 Hal Sederhana dalam Rumah Tangga yang Bisa Picu Perpisahan
- Evaluasi Pernikahan Bersama Pasangan, Memangnya Perlu?
- Kok Bisa Sih Selingkuh, Padahal Rumah Tangga (Rasanya) Baik-Baik Saja?
- Seni Menolak Ajakan Bercinta Agar Pasangan Tak Sakit Hati
Photo created by DCStudio - www.freepik.com