Bagi pasangan suami istri generasi saat ini, menggunakan kontrasepsi telah menjadi prioritas. Selain agar tumbuh kembang anak maksimal, keputusan untuk ber-KB juga dilatarbelakangi oleh biaya pendidikan dan kesehatan yang makin tinggi, juga keinginan untuk tetap berkarya. Namun ternyata, perjalanan ber-KB bagi sebagian pasangan tak semulus itu. Ada yang memutuskan untuk berhenti pakai KB, tapi ada juga yang memilih untuk berganti saja. Pasutri yang berhenti pakai KB, khususnya saat pandemi, disebabkan oleh hal ini. Namun, bagaimana dengan yang memutuskan untuk berganti? Apa alasannya?

Untuk mengetahui hal tersebut, Skata mengadakan survei pada hampir 200 orang pasangan usia subur di 15 provinsi Oktober lalu. Ternyata, ini yang menyebabkan sebagian dari mereka mengganti metode KB mereka dengan kontrasepsi lain.

1. Efek samping

Sebanyak 43,4% peserta survei memutuskan untuk ganti KB karena tidak nyaman dengan efek samping metode KB sebelumnya. Beda metode, beda efek samping. Tapi, kurang lebih yang sering menjadi keluhan adalah haid yang tidak teratur. 

Perubahan siklus haid memang sering dialami pengguna KB hormonal (pil, suntik, implan), khususnya pada awal penggunaan. Seiring dengan waktu, siklus haid akan kembali normal.

Namun, ada pengguna KB yang merasa tidak subur karena tidak haid dalam jangka panjang. Bahkan, ada responden yang beralasan “ingin (kembali) merasakan datang bulan”. Meski tak haid bukan berarti tak subur, namun hal ini cukup membuat sebagian wanita khawatir.

Selain gangguan siklus haid, perubahan volume darah haid, nyeri haid, mual, sakit kepala juga bisa menyebabkan beralih metode KB.

Baca: Alasan yang Membuat Anda Sebaiknya Beralih ke Kontrasepsi Lain

2. Tidak efektif/kesundulan

Tak ada metode KB yang mencapai efektivitas 100%. Ada banyak faktor yang bisa menjadi celah, di antaranya posisi IUD tidak pas dan jadwal minum pil KB tak teratur. Karena itu, perhatikan betul aturan penggunaan metode kontrasepsi pilihan.

Baca: Sudah Pasang IUD Tetap Bisa Hamil, Ini Alasannya

3. Melebihi batas maksimum pemakaian 

Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Sebagian menyatakan aman menggunakan KB hormonal tanpa batas waktu, selama hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa pasien tersebut tidak memiliki masalah kesehatan.

Namun, sebagian lagi menyatakan tidak. Alasannya, hormon dalam jenis KB tertentu jika digunakan secara jangka panjang akan membawa risiko kesehatan bagi mereka dengan riwayat kesehatan tertentu, usia tertentu, dan memiliki masalah kesehatan.

Mereka yang memiliki kondisi berikut ini lebih berisiko jika menggunakan KB yang mengandung hormon estrogen secara jangka panjang, yaitu:

  1. Perokok berusia >35 tahun
  2. Hipertensi tak terkontrol
  3. Memiliki masalah terkait pembuluh darah dan jantung
  4. Kanker payudara
  5. Gangguan liver
  6. Migrain dengan aura
  7. Lupus
  8. Diabetes dan komplikasinya

Bagi mereka yang memiliki riwayat penggumpalan darah, sebaiknya beralih ke IUD non-hormonal. 

Bagaimana dengan KB non hormonal seperti IUD?

IUD ada yang berjenis hormonal maupun non-hormonal. IUD non-hormonal aman digunakan untuk jangka panjang selama rutin diganti setelah masa pakainya usai. Ada IUD dengan masa pakai 3, 5, 7, 8, hingga 10 tahun. Karenanya, jangan sampai lupa kontrol berkala agar tidak lupa kapan IUD expired dan harus diganti. Jika kita disiplin memperbarui IUD, penggunaan hingga menopause tiba tidak menjadi masalah.

Namun, ada juga pendapat berbeda mengenai hal ini. Mengingat IUD non-hormonal pun banyak jenisnya, ada jenis tertentu yang dalam jangka panjang bisa memperkecil kemungkinan untuk hamil. Jadi, tetap konsultasikan ke dokter terlebih dahulu sebelum memutuskan menggunakan KB secara jangka panjang.

4. Menyusui

Sebagian KB mengandung hormon estrogen yang dapat mengganggu produksi ASI. Solusinya, gunakan metode KB tanpa hormon seperti IUD atau KB dengan hormon progestin saja yang tak mengganggu kelancaran ASI.

5. Sudah tidak menyusui

Setelah tuntas tugas mengASIhi, kita bisa menggunakan metode KB jenis apapun yang dirasa lebih nyaman. Tak perlu lagi takut ASI macet.

6. Malas suntik ulang

Pengguna KB suntik bisa saja malas untuk suntik ulang ke bidan atau dokter setiap 1 atau 3 bulan sekali, sehingga memutuskan untuk mengganti metode KB. 

7. Alasan medis

Sejumlah penyakit atau gangguan kesehatan bisa bereaksi dengan hormon dalam kontrasepsi jenis tertentu, begitu pula dengan kondisi kesehatan rahim yang tak selalu bisa dipasang IUD. Pengobatan penyakit tertentu juga bisa menimbulkan efek samping jika pengguna memakai KB. 

Baca: Penderita 5 Penyakit Ini Harus Lebih Cermat Pilih Metode KB

8. Rekomendasi dokter

Biasanya, ketika kita datang dengan keluhan, dokter maupun bidan akan mencarikan solusi metode KB terbaik yang sesuai dengan kondisi kesehatan kita. Ini yang bisa membuat sebagian pengguna mengganti metode KB-nya.

9. Berat badan naik

Keluhan naiknya berat badan sering muncul dari pengguna KB suntik dan pil KB. Apakah benar KB penyebabnya? Atau, ada sebab lain? Skata pernah membahasanya dalam artikel "Benarkah Pil KB Bikin Gemuk?"

10. Jumlah anak banyak

Mereka yang memiliki banyak anak lah yang pada akhirnya memilih KB steril seperti tubektomi atau vasektomi. Dengan metode mengikat saluran telur maupun saluran sperma, kehamilan tak mungkin lagi terjadi. Pengguna pun tak perlu meng-update penggunaan kontrasepsinya lagi.

Intinya, berganti metode KB tidak menjadi masalah mengingat upaya pencegahan kehamilan ini serupa sebuah perjalanan. Tubuh pun memiliki reaksi terhadap benda asing, yang mungkin menimbulkan efek samping yang membuat kita tak nyaman. Kabar baiknya, ada 10 macam metode KB yang bisa kita pilih. Tak cocok satu, pilih saja lainnya.

Belum tahu apa saja 10 metodenya? Cek di fitur Kontrasepsiku di Skata ya!

 

 

 

Artikel ini telah ditinjau secara medis oleh dr. Sabrina Anggraini