“Tiap kali aku berpikir mau minggat, aku cuma bisa sampe perempatan depan trus balik rumah lagi. Padahal, aku udah males banget tiap hari berantem terus sama Bapak,” curhat Ardan (27) mengingat ketidakakurannya dengan almarhum ayahnya kala ia SMA. Hubungan ayah dan anak lelakinya yang penuh duri memang tak hanya terjadi pada Ardan, tapi banyak anak dan ayah lain. Masa remaja bisa jadi titik balik kisah indah saat ayah menjadi sosok idola anak lelaki. Apa penyebabnya?
Menurut allprodad.com, laman pengasuhan untuk ayah, ada 5 hal yang membuat hubungan ayah dan anak menjadi tidak harmonis.
1. Sering mengkritik anak
Jangankan anak, kita pun pasti jengah kalau dikritik terus menerus oleh pasangan maupun orang tua kita. Ayah mungkin tak bermaksud buruk ketika mengkritik anak lelakinya, karena toh kesalahan anak harus diluruskan agar tidak merugikan anak di masa depan. Namun, kritikan yang disampaikan terlalu sering, kritikan atas hal sepele, apalagi dengan cara komunikasi yang salah, hanya akan membuat anak lelaki merasa selalu salah di mata ayahnya.
Kata pepatah asing, be selective in your battles, sometimes peace is better than being right.
Artinya, tidak semua hal bisa kita perdebatkan, karena ada kalanya ketenangan jauh lebih baik daripada sekadar membuktikan siapa yang benar. Dari sekian banyak kritik (atau masukan, nasehat) yang sering kita lontarkan pada anak, coba pilih lagi mana yang benar-benar prinsip sehingga anak layak untuk terus diingatkan.
Jangan lupa, ketahui 4 cara efektif berkomunikasi dengan remaja agar kritikan kita tak menjadi bumerang.
2. Ingin anak lebih baik darinya
Ini harapan semua orang tua, tentunya. Tapi, anak juga manusia yang punya jalannya sendiri untuk menjadi sosok yang diharapkannya. Sehingga, memberi sejumlah “jaring pengaman” agar anak tak mengalami kesulitan, melarangnya untuk melakukan hal yang ia sukai (namun tak kita sukai), memintanya memilih apa yang menurut kita baik untuknya tak akan bisa mencegahnya dari kesulitan, kegagalan, dan pengalaman lain yang kelak akan mendewasakan dirinya. Kita saja membutuhkan puluhan tahun untuk sampai pada kondisi seperti saat ini, mana mungkin kita bisa “memangkas” proses tersebut hanya dalam beberapa tahun?
Jadi, tempatkan harapan tersebut pada porsinya. Beri kebebasan yang bertanggung jawab pada anak agar ia bisa belajar, bentengi dengan nilai-nilai keluarga sehingga ia paham mana yang harus dihindari. Mengatur hidup anak, apalagi anak lelaki yang kelak menjadi pemimpin dalam keluarganya, hanya akan membuat anak tertekan dan mengikis rasa mampunya, seperti yang terjadi dalam film Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini.
3. Terlalu menganggap penting prestasi
Prestasi kini tak harus ranking 1 di kelas. Di dunia maya, orang tua beranak balita pun berlomba menunjukkan kehebatan anak-anak mereka, mulai dari lahap makan sayur hingga bisa naik sepeda. Tekanan sosial untuk menjadi lebih hebat dari orang lain kadang membuat orang tua menggunakan anaknya untuk memenuhi keinginan tersebut. Seorang ayah yang terlalu berlebihan mendorong anaknya agar “tidak biasa-biasa saja” bisa merenggangkan hubungan ayah dan anak. Apalagi, jika sang ayah membandingkan anak dengan prestasinya saat muda dulu, yang akhirnya membuat anak jengah.
Padahal, arti “prestasi” kini sudah banyak berubah. Simak apa kata pakar pendidikan Najelaa Shihab tentang hal ini di artikel “Remaja Tak Punya Semangat Berprestasi, Coba Ubah Sudut Pandang Anda”
4. Kurang memberi perhatian
Berapa banyak anak yang bermasalah bukan karena ayah yang terlalu cerewet, tapi terlalu abai pada anaknya? Kesibukan bekerja menyisakan lelah saat pulang ke rumah, sehingga tak bersemangat untuk sekadar bermain atau mengobrol dengan anak. Menganggap pengasuhan sebagai tugas istri juga rentan membuat para ayah seolah lepas tangan urusan anak. Padahal, secuek apapun anak lelaki saat beranjak remaja, ia masih ingin dekat dengan ayahnya. Jangan sampai, kurangnya perhatian membuat anak merasa tak cukup berharga bagi ayahnya. Ini kelak membuat anak mencari penghargaan dan pengakuan dari pihak lain, yang belum tentu dalam hal yang positif.
5. Memiliki luka pengasuhan
Luka pengasuhan saat ayah masih kecil, terkadang belum semuanya dapat diterima dan diikhlaskan. Akhirnya, beban masa lalu ini kerap muncul dalam bentuk amarah yang dilampiaskan ke anak. Hal ini dapat membuat anak menjauh dari ayah karena ia melihat ayah sebagai sosok yang berbahaya dan menakutkan.
Tentu saja yang sudah terjadi tak bisa kembali, namun bukan harga mati. Masih ada waktu untuk mengevaluasi diri dan menjalin kedekatan dengan anak, apalagi dengan jenis kelamin yang sama akan lebih mudah mencari celah untuk mengakrabkan diri.
Tak lupa, ayah juga perlu belajar parenting, lho! Setidaknya, ayah tahu tahap perkembangan anak, baik emosinya, fisiknya, kognitifnya, agar bisa memahami setiap fase yang anak alami tanpa menganggap mereka bandel, keras kepala, maupun pemberontak.
Tak perlu Googling, unduk saja buku digital 1001 Cara Bicara Orang Tua dengan Remaja di sini.
Photo created by freepik - www.freepik.com__a_